batak itu keren

Percakapan Panjang dengan Benny Panjaitan (1)

Posted on: 8 Februari, 2008

“Awal dari Cinta”, Awal Kelahiran Panbers

Kami mulai rekaman pertama. Saya terus kuliah. Adik-adik saya baru mau tamat SMA. Jadi, rekaman itu setengah mati kami bagi-bagi waktunya. Muncullah hasil rekaman : ternyata sangat menghebohkan. Saat itu memang baru grup Koes Plus adanya. Mereka sudah rekaman jauh di atas kami, tujuh tahun sebelum kami. Mereka sudah volume 3, kami baru mulai.

Alinea dengan huruf miring di atas adalah petikan ucapan Benny Panjaitan, mengenai masa-masa awal Panbers, sebelum ngetop dan akhirnya melegenda.. Dedengkot grup band Panbers ini diwawancarai oleh Hans Miller Banuareah, Jansen H Sinamo dan P.Hasudungan Sirait, ketiganya dari majalah budaya batak Tatap, pada pertengahan Desember 2007.

Benny bicara panjang lebar dan blak-blakan mengenai “rahasia dapur” Panbers, proses terciptanya lagu-lagu abadi seperti “Gereja Tua”, pengalaman satu panggung dengan The Bee Gees, kiat merawat suara, kurangnya dukungan pejabat-pejabat tinggi Batak, penyanyi/musisi Batak masa kini malu pakai marga, bintang-bintang instan seperti Joy Tobing, dan banyak lagi.

Hasil wawancarai itu sudah ditampilkan dalam bentuk tanya-jawab di majalah Tatap edisi nomor empat, yang saat ini sedang beredar. Dan atas ijin lisan dari Jansen Sinamo, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Tatap, hasil wawancara dengan Benny Panjaitan itu aku kutip selengkapnya untuk anda semua.

Demi kemudahan dan kenyamanan anda membaca, aku sengaja menulis ulang hasil wawancara itu, agar percakapan panjang dengan Benny tersaji secara runtut, padu dan terstruktur. Hasil tulis ulang itu aku turunkan dalam beberapa seri tulisan ringkas, dimulai dengan tulisan bagian pertama ini..

Awal belajar main musik

Saya bermain biola (pada usia) 15 tahun, berguru pada seorang Jerman. Malah lucu : saya pemain biola yang akhirnya jadi pemain gitar dan kibor. Adik-adik saya pernah les, tapi akhirnya semua otodidak.

Jadi, di musik ini kami tidak main-main. Betul-betul mempelajari dengan sungguh-sungguh dan kami mau belajar. Makanya kalau Panbers itu main, bisa mengiringi artis. Coba grup sekarang, bisa ? Kalau dikasih lagu orang lain habislah dia. Karena apa? Karena dia hanya mempelajari dia punya saja. Kalau kami, belajar secara universal.

Cikal bakal Panbers

Kami memang di keluarga yang berdarah seni musik. Ibu saya main piano. Ayah saya senang main biola. Padahal, bapak saya bankir, salah satu direktur bank rakyat dulu.

Kami bentuk band bocah waktu di Palembang. Terbentuknya band ini karena bapak sangat demokrat. Dia menganggap daripada anaknya main-main ke luar rumah, lebih baik bermusik. Dengan begitu, bapak bisa mengawasi kami. Cuma memang ada satu syarat dari orang tua saat itu : jangan tinggalkan sekolah. Jangan sampai putus sekolah. Maka, sambil kami main musik, ya tetap harus sekolah. Rajin. Saya ranking terus; prestasi saya bagus.

(kemudian) Kami pindah ke Surabaya. Di sana kami bentuk lagi band, tapi sudah bukan band bocah lagi. Band remaja yang masih SMA. Kami belum berkarya sama sekali : hanya sebagai pemain musik yang menyanyikan lagu orang, termasuk lagu Batak kayak : “A Sing Sing So” dan “Butet”. Kedua lagu ini sangat populer waktu itu dan orang-orang sana tahu. Kami nyanyikan di mana-mana.

Kami sering pindah-pindah karena bapak bankir. Menjelang tahun ’71 kami pindah ke Jakarta. Saya sudah tamat SMA dan adik-adik saya masih SMA. Waktu itu ayah saya masih bilang,”Awas ya, harus tetap kuliah.” Jadi bermain musik hanya hobi. Ke mana-mana menjalankan hobi, termasuk waktu main di pesta-pesta Batak, di pesta-pesta sekolah, dan di Taman Ria (Monas). Di mana-mana yang skupnya kecil.

Tapi, kami akhirnya berpikir. Di awal tahun ’70 saya sudah berpikir : aku ndak jadi apa-apa kalau tidak mencipta lagu. Terciptalah lagu, saya mulai dengan lagu “Awal dan Cinta”.

Saya sudah berani nyanyikan di TV dan di pesta-pesta. Orang pun tahu sehingga di awal ’71 kami dipanggil produser. “Lagu anda patut untuk direkam.” Sementara lagu yang saya punya nggak banyak, Cuma enam. “Bikin empat lagu lagi. Cepat. Kalian harus keluar.” Itu perusahaan (rekaman) namanya Dimita, sekarang sudah nggak ada.

Rekaman pertama, “Awal dan Cinta”

Waktu itu saya sudah kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Nasional, sekarang (menjadi) ISTN. Gimana ini ya, terombang-ambing pikiran saya karena bapak saya bilang harus selesaikan sekolah. Sekarang sudah mau rekaman, dikasih kesempatan kok nggak mau.

Akhirnya saya bilang sama orang tua. Jawabnya,”Sudah, sekarang kamu pilih. Kamu berkarya, tapi syaratnya kamu harus hidup dari karya kamu. Jangan sampai nggak ada yang lulus kalian.”

Kami mulai rekaman pertama. Saya terus kuliah. Adik-adik saya mau tamat SMA. Jadi, rekaman itu setengah mati kami bagi-bagi waktunya. Muncullah hasil rekaman : ternyata sangat menghebohkan. Saat itu memang baru grup Koes Plus adanya. Mereka sudah rekaman jauh di atas kami, tujuh tahun sebelum kami. Mereka sudah volume 3, kami baru mulai.

Ya, memang sudah kehendak Tuhan sukses rekaman itu. Kami selipkan satu lagu Batak di situ, “Masihol Ahu”. Berani sekali saya. Karena apa ? Rekaman Batak nggak ada waktu itu. Ternyata sambutan orang Medan luar biasa. Kami main di Stadion Teladan, main di mana-mana. Di zaman itu kan selebaran disebar pakai helikopter. Ribuan disebar.

Saya masih ingat, Stadion Teladan sampai jebol.Di situ kami berpikir : wah, bangga sekali kami orang Batak. Padahal kami nggak pernah tinggal di Medan. Sambutannya luar biasa karena lagu Batak itu. (Bersambung)

 

2 Tanggapan to "Percakapan Panjang dengan Benny Panjaitan (1)"

bgs….

berat jg perjuangannya. patut ditiru…

Tinggalkan komentar

Blog Stats

  • 761.504 hits

Arsip