batak itu keren

Percakapan Panjang dengan Benny Panjaitan (2)

Posted on: 13 Februari, 2008

Peraturan Pembagian Honor : Jangan Libatkan Para Isteri

Tahun 80-an kami sudah bikin album Batak, album rohani, dangdut dan album daerah-daerah lain. Di situ kekuatan Panbers : lagu Manado, Flores, Ambon, Gorontalo, Jawa masuk semua. Itu memang akhirnya mengilhami yang lain. Koes Plus pun bikin lagu Batak meskipun bahasanya terbata-bata.

Diskografi lagu-lagu Panbers itu sangat banyak. Saya sudah bikin lagu kurang lebih dalam 15 bahasa daerah Indonesia. Kayak lagu “Gereja Tua” itu 10 daerah versinya. Kekuatan kami di situ.

SETELAH album pertama meledak, nama Panbers kian berkibar di seantero Indonesia. Mereka berhasil menyejajarkan diri dengan Koes Plus, dan kemudian menjadi dua penguasa di blantika pop Indonesia. Di jalur musik rock ada Godbless dan AKA, sedangkan di jalur dangdut Rhoma Irama dengan grup Soneta-nya saling isi-mengisi dengan penyanyi solo Elvi Sukaesih.

Panbers menjadi unikum yang langka di dunia musik Indonesia masa itu, karena merupakan satu-satunya grup band yang semua personilnya orang Batak, dan kakak-beradik pula. Toh dengan warna Bataknya yang demikian kental, Panbers dapat diterima dan malahan menjadi idola kaum muda di semua pelosok negeri ini; menerobos sekat-sekat kesukuan dan kelas sosial.

Yang membuat masyarakat semakin salut, Panbers terus berkibar dengan citra grup band yang kompak dan bersih. Tak pernah terdengar kabar miring mengenai percekcokan atau isu perpecahan di dalam grup ini. Dan mereka tidak pernah terlibat dalam perkara negatif, misalnya narkotika atau gaya hidup bebas yang menjadi trend pada dekade 70-an. Lewat personifikasi Benny yang selalu tampil rapi, energik dan segar, citra Panbers senantiasa terjaga sebagai grup band yang positif dan bersih.

Mengenai kekompakan dan konsistensi, Panbers memang sangat fenomenal, tidak ada duanya sepanjang sejarah musik di Indonesia. Ketika grup band lain pecah atau bubar, misalnya AKA, The Mercys, The Favourite dan puluhan grup band yang eksistensinya hanya sebentar; Panbers tetap eksis, kompak dan konsisten mengusung warna musiknya.

Simak penuturan Benny Panjaitan berikut ini mengenai kiat-kiatnya menjaga kekompakan dan konsistensi Panbers :

Kekuatan Panbers

(setelah sukses album pertama) Kami terus dipacu. Satu tahun bisa mengeluarkan 3-4 album. Konsentrasi kami terus. Jadi sepanjang di Dimita itu kami mengeluarkan sekitar delapan album. Kemudian perusahaan itu bangkrut.

Kami ditarik ke Remaco. Malah semakin jadi. Dia bikin (album) the best-nya. Juga diproduksi lagi mulai dari lagu “Terlambat Sudah” sampai yang belakangan “Gereja Tua”. Disamping itu kami juga berkelana ke mana-mana mempersiapkan album.

Tahun 80-an kami sudah bikin album Batak, album rohani, album dangdut dan album daerah-daerah lain. Di situ kekuatan Panbers : lagu Manado, Flores, Ambon, Gorontalo, Jawa masuk semua. Itu memang akhirnya mengilhami yang lain. Koes Plus pun bikin lagu Batak meskipun bahasanya terbata-bata.

Diskografi lagu-lagu Panbers itu sangat banyak. Saya sudah bikin lagu kurang lebih dalam 15 bahasa daerah Indonesia. Kayak lagu “Gereja Tua” itu 10 daerah versinya. Kekuatan kami di situ.

Tapi era sekarang makin berbeda. Kalau dulu kami diberikan keleluasaan berkarya, sekarang lain : produser menekan karya kita. Jadi, untuk berkarya semaksimal mungkin sekarang sudah sulit.

Hans Meninggal & Kiat Menjaga Kekompakan

Waktu itu kan kami main berempat terus. Karena melihat kemajuan di bidang musik, lalu kami masukkan satu personel. Namanya Maxi, dia tetangga. Kalau dulu kami main tanpa kibor, tanpa alat-alat yang lain saya lihat ndak apa. Sekarang lain.

Jadi, kami sudah main berlima sebelum abang saya (Hans) meninggal dunia. Setelah abangku pergi, kami kembali lagi berempat. Posisinya tetap kuat. Stabil. Saya pikir nggak boleh berhenti. Harus jalan terus karena memang kehidupan kami sudah di musik. Waktu “Gereja Tua” masih ada dia (Hans), tapi waktu lagu “Cinta dan Permata” dia sudah pergi.

Saya memang ikonnya Panbers. Bisa (dibilang) begitu. Tapi, boleh dibilang juga ndak. Karena kalau waktu itu tidak kami masukkan satu personel, akan bertiga. Pasti (akan) berhentilah kira-kira setahun mencari pengganti. Nggak gampang mencari yang sehati. Maxi kan karena kawan dari kecil, sudah ikut jadi pengagum kami, sehingga sudah kayak saudara.

Akhirnya tahun 90-an kami masukkan lagi yang namanya Hans,orang Ambon. Jadi kami bermain berlima. Henri Lamiri kemudian gabung, jadi berenam. Adik-adikku itu sangat membantu dalam hal musikalnya. Musik Panbers itu kalau ditonton di panggung berbeda dengan plat (piringan hitam) atau CD. Lebih bagus yang di panggung.

Harus lebih bagus kalau ditonton langsung. Ada variasinya. Kami selalu berpikir begitu. Makanya, langgeng.

Keutuhan dari satu grup tidak jauh dari manajemen yang baik. Ada pengertian satu sama lain. Gelombang pasang itu pasti ada. Tahun ’85 misalnya, penyanyi (solo) booming semua. (kalau egois) Saya waktu itu bisa menjadi pencipta lagu saja, sambil mengorbitkan penyanyi-penyanyi. Tapi, saya bertahan, ndak meninggalkan grup (Panbers).

Ternyata kekuatan pemikiran saya terbukti. Muncul lagu “Gereja Tua” dan booming lagi. Ada kekuatan baru. Orang menoleh lagi. Terus jalan. Periode 80-90 an terus kami rekaman. Lalu, dalam kevakuman di rekaman kami terus show. Kami memperbaiki show-nya; selalu membuat sesuatu yang baik, yang baru, yang lebih atraktif; yang lebih enak ditonton.

Tahun 90-an jalan terus. Tidak perduli. Ini ada lagi gelombang, yaitu masuknya anak-anak muda. Kami masukin lagi “Cinta dan Permata”. Booming lagi.

Saling percaya & tidak libatkan para isteri

Betul, orang yang bersaudara sekandung memang acap kali bersinggungan. Tapi, di Panbers kami itu seperti teman. Patokannya adik-adik saya sangat percaya sama saya. Kepercayaan atau trust itu inti manajemen yang baik.

Dalam keuangan, misalnya. Kalau satu saat adikku mendapat job, dia yang urus, aku tanya berapa dapatnya. “Segini Bang.” Kamu urus honor-honor yang lain. Kalau kamu lebih, itu memang hakmu karena kamu yang dapat. Saya selalu terapkan begitu. Dibilang misalnya job-nya Rp 10 juta. Kami nggak pernah nanya ke panitia benar tidak Rp 10 juta. Nggak. Saya percaya. Trust.

Kalau pun pada suatu saat umpamanya saya tahu lebih (yang diterima dari panitia), ah, adikku juga yang dapat untung. Kenapa jadi sedih ? Kalau dia senang, kan aku juga senang. Jadi dia pun begitu terhadap saya. Itu manajemen kami.

Dan saya sudah terapkan peraturan : para istri tidak perlu tahu berapa yang kami dapat. Karena apa ? Ini dunia seniman. Bisa lima ribu rupiah, bisa juga seribu rupiah dapat. Yang wajar-wajar sajalah. Jangan diambil susah. Apa yang dia mau, kasih. Nggak perlu kasih tahu, oh dapat sekian. Saya selalu terapkan pada mereka. Dan karena dari awal diterapkan begitu, nggak ada pertanyaan.

“Ini honor masih kecil nih mainnya, cuma sekian, dapatnya sekian; jadi kamu atur. Berapa bagian dia, kasih jangan sampai tidak. Tapi ingat, jangan sekali-sekali tunjukkan angka. Nanti kamu akan dinilai: kok kecil ?”. Kami selalu terapkan seperti itu. Untung, isteri-isteri kami memang tidak pernah komplain. Kelihatannya suatu manajemen yang ecek-ecek, tapi secara psikologis itu sangat dalam.

Selain itu kami memiliki dana cadangan untuk digunakan kalau ada personil sakit. Selama ini kebutuhan untuk itu selalu kami tutup dari dana cadangan itu. Yang paling membanggakan, dengan dana itu kami mampu membiayai produksi album kami yang akan datang sampai tahap master. Dengan begitu kami nggak perlu tergantung lagi pada pihak lain. Tinggal pilih saja mau ditawarkan ke pihak mana master itu. Ini kemajuan penting buat Panbers. (Bersambung)

Tinggalkan komentar

Blog Stats

  • 761.504 hits

Arsip