batak itu keren

Doktor Marketing “Lulusan” Terminal Siantar (2)

Posted on: 30 April, 2008

Si penjaja mengumpulkan kembali buku TTS tersebut, karena ternyata tak seorang pun berminat membeli. Hanya saja, itu bukan akhir dari aksinya. Sambil melompat dari pintu bis, si penjaja ngomel :

“Uuuh, na buta huruf do ra sude na di bis on… “

Oleh : Eben Ezer Siadari

SELAGI pikiranku mengembara ke ranah ilmu marketing, tiba-tiba seorang ibu berteriak dari pintu belakang. Suaranya kencang dan serak, bayangkanlah kalau Syaharani kelewatan berimprovisasi menyanyikan lagu jazz.

“Roti Namarsileting Inang…, Roti Namarsileting Bapa, Roti Namarsileting Ito…. On dope di Indonesia adong Roti Namarsileting….. Pertama di Siantar…..”,”suaranya bergema diiringi tawa seluruh penumpang.

(Terjemahan ucapan ibu itu : Roti yang ada ritsluitingnya Bu, ….roti yang ada ritsluitingnya Pak…. Ini pertama di Indonesia ada roti yang pake ritsluiting…)” .

Saya juga ikut terbahak. Saya tak bisa membayangkan seperti apa sih roti yang ada ritsluitingnya? Lagipula, apa perlunya roti dipakai kancing tarik begitu? Apakah roti sesuatu yang tabu atau bentukya porno ?

Membayangkan jawaban-jawaban dari pertanyaan ini, saya makin tak bisa menahan tawa.

Ternyata ibu itu hanya bercanda. Ketika menyaksikan kami tertawa, ia meledek kami:

“Molo tu namarsileting i tor hicca do simalolong muna. Iya tuhor hamu ma jo kue on. Mura pe hubaen. Asa adong pasi sikkola ni paraman muna an.”

(Kalau untuk yang pake ritsluiting, mata kalian pasti langsung menoleh deh. Mbok kalian beli lah kue ini. Murah kok. Lumayan buat biaya sekolah anak saya di rumah nanti),”

Diledek dengan cara begitu, ditembak dengan lelucon yang menyenangkan (meskipun agak malu juga, sebab, sepertinya kita dipergoki tengah berpikir yang nggak-nggak), saya pun tersentuh juga. Kue bolu ibu itu, yang memang benar-benar kue bolu dan tanpa kancing tarik, akhirnya saya minta dibungkuskan.

Lagi-lagi saya mengagumi gaya pemasaran ala ibu ini. Seandainya Hermawan Kertajaya ada disamping saya, saya akan meminta penjelasan teori apa yang akan dia gunakan menerangkan ini. Jangan-jangan dia yang akan belajar dari terminal ini dan mengganti marketing in Venus yang sudah basi itu jadi Marketing in Terminal Siantar. Bisa saja kan?

* * *

SAYANGNYA, cerita tentang Terminal Siantar sebagai laboratorium marketing harus saya akhiri dengan antiklimaks. Sebab ada seorang pemuda berambut gondrong naik ke dalam bis. Tanpa banyak bicara ia meletakkan buku teka-teki silang di pangkuan masing-masing penumpang. Dia cuma bilang begini :

“Iseng-iseng, iseng-iseng, biar tambah pandai, daripada melamun, isi teka-teki
silang.”

Matanya dengan tajam melihat penumpang satu per satu. Tak ada satu penumpang pun yang tergerak untuk menjamah, apalagi membaca buku itu. Saya memang sudah diberitahu, kalau ada gaya menjual seperti itu, tak usah diladeni. Jika penjaja teka-teki silang di kereta api atau bis di Jakarta tak keberatan mengizinkan kita membolak-balik dagangannya walau pun nantinya kita tak jadi beli, konon di terminal Siantar adatnya beda. Baca berarti beli.

Saya tidak tahu apakah ini benar 100%. Yang jelas saya sama sekali tak mau bikin persoalan. Buku itu saya biarkan tergeletak di pangkuan saya. Penumpang yang lain pun saya lihat berperilaku serupa.

Si penjaja mengumpulkan kembali buku TTS tersebut, karena ternyata tak seorang pun berminat membeli. Hanya saja, itu bukan akhir dari aksinya. Sambil melompat dari pintu bis, si penjaja mengomel :

“Uuuh, na buta huruf do ra sude na di bis on… “

(Buta hurufnya rupanya semua orang di bis ini…..).”

Saya kira bukan hanya saya, penumpang yang lain juga, pasti merasa teriris hatinya dikatai buta huruf. (Gile, mo dikemanain jerih payah bokap-nyokap susah payah ngutang sana-sini buat lulus SD-SMP dst).

Tetapi hanya seorang ibu di depan saya yang berani membalasnya (jangan-jangan dia emang buta huruf). Dengan ekspresi dan suara sengit dia membalas pedagang asongan kurang ajar itu :

“Eeeh, aha do di dok babam. So marmusmus ho huida…..”

(Eh, apa katamu, kok ngomongnya ngawur….)

* * *

SETELAH emosi saya reda, saya mencoba menghibur diri dengan berpikir, seandainya ini ditempatkan dalam ranah Marketing, kira-kira gaya Marketing apa ini ya? Apakah memang ada gaya semacam ini atau orang Siantar saja yang tahu cara ini?

Jawabannya mungkin akan mudah kalau saja Rhenald Khasali bisa segera saya tanyai. Tapi saya tak mau merepotkan dan karena itu saya mencoba menjawabnya sendiri.

Saya ingat sebuah Catatan Pinggir Goenawan Muhammad, dulu sekali ketika Pak Harto masih jumawa. Konon, menurut dia, ada buku dengan judul Marketing by Intimidation. Memasarkan lewat cara intimidasi, mengancam, menakut-nakuti. Ditulis oleh seorang pakar yang serius menekuni bidangnya, buku itu bercerita tentang marketing di bisnis property.

Menurut saya, gaya pemasaran yang baru saja saya lihat tampaknya cocok dengan nama itu. Tetapi yang lebih mirip sebenarnya adalah gaya para anggota DPR kita yang mengangkat dirinya jadi marketer dan ‘menjajakan’ keahliannya kepada para Gubernur dan Bupati untuk memudahkan pencairan Dana Bantuan Kemanusiaan.

Dalam hati, saya bergumam jangan-jangan si pedagang teka-teki silang tadi belajar dari anggota DPR kita. Atau anggota DPR yang menimba ilmu dari Terminal Siantar? Siapa tahu kan? Daripada repot-repot beli gelar dengan hitungan ribuan dolar, lebih baik belajar gratis dari Terminal. Logis, bukan?

“Ah, bercanda kamu,” Anda mungkin kembali menyergah saya.

Saya memang banyak bercanda akhir-akhir ini. Tetapi canda saya saya kira masih dalam batas. Coba bandingkan dengan cara Pemerintah menaikkan harga BBM. Apakah ada lagi canda yang lebih lucu dari itu? (Tamat)

====================================================================

**Artikel ringan yang lucu, renyah dan inspiring ini aku comot dari blog simanondang.blogspot.com. Simanondang adalah nama desa di Simalungun, kampung tercinta Eben Ezen Siadari.

ebenezersiadari@yahoo.com

http://www.tobadreams.wordpress.com

3 Tanggapan to "Doktor Marketing “Lulusan” Terminal Siantar (2)"

horas lae. mauliate, diatei tupa, sudah mengutip tulisan aku di blog ini. tapi nama blogku bukan simanondang, lae. tapi sarimatondang. lengkapnya nama blog itu adalah the beautiful sarimatondang, beralamat di http://sarimatondang.blogspot.com.

tabik, horas, mejuah-juah.

e.e. siadari

(Aku baca postingan Bang Eben ini sambil tersenyum… :)).
Kagum? iya… (Kalau dari cerita namboru itu)
Lucu? iya,.. Takut? iya juga… Sedih? apalagi…..
Itulah sedikit cerita tentang keadaan terminal siantar dari sekian banyak hal-hal lain yang mungkin perlu untuk disharingkan… Thanks bang

@ ee siadari

Horas Lae. Kesalahan itu sudah kuperbaiki Lae. Yang paling penting kita lanjutkanlah komunikasi yang baik ini. Kalau Lae berminat, datanglah ke TobaDream Cafe, di situlah kawan-kawan blogger Batak bertemu dan markombur.

Malam minggu ini Viky Sianipar akan “ngamen” lagi di kafe itu; jadi cocoklah kita kopdar sambil menikmati musiknya si Pikki yang keren abizzz itu hehehe.

Kalau Lae datang, tanyalah Meja 19, dan kalau sudah sampai di meja legendaris itu (narsis hehehe), lae akan disambut sebagai kawan lama. Horas.

Raja Huta
penguasa Meja 19

Tinggalkan komentar

Blog Stats

  • 761.250 hits

Arsip